Karakteristik Akseptor Latih Sekolah Dasar
Hakikat Peserta Didik
Sebutan “Peserta Didik” itu menggantikan sebutan “peserta didik” atau “murid” atau “pelajar” atau “student”. Dalam UU No. 20 Tahun 2013 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, mendefinisikan penerima didik sebagai setiap insan yang berusaha membuatkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik formal maupun pendidikan non formal, pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Berdasarkan definisi penerima didik di atas, maka sanggup kita pahami bahwa esensinya ialah setiap individu yang berusaha membuatkan potensi pada jalur pendidikan formal dan non formal berdasarkan jenjang dan jenisnya. Sudarwan Danim (2013: 2) Menerangkan perihal hakekat penerima didik sebagai berikut:
Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Proses pembelajaran pada semua jenis, satuan dan jenjang pendidikan tanpa dipandu dengan pemahaman guru terhadap penerima didiknya hanya akan berubah menjadi sebagai tindakan rambang dan cenderung anti pedagogis.
Karakteristik Peserta didik SD merupakan salah satu variable yang perlu diperhatikan demi suksesnya proses berguru mengajar. Variabel ini bisa berupa bakat, minat, sikap, motivasi belajar, gaya belajar, kemampuan berpikir dan kemampuan awal (hasil belajar) yang telah dimilikinya.
Uno (2012: 58) menjelaskan bahwa Karakteristik penerima didik akan sangat besar lengan berkuasa pada pemilihan seni administrasi pengelolaan, yang berkaitan dengan bagaimana menata pengajaran, khususnya komponen-komponen seni administrasi pengajaran, biar sesuai dengan karakteristik perseorangan penerima didik.
Menurut Piaget (Shaffer & Kipp, 2010 : 253-277) mengemukakan bahwa proses berguru anak hingga bisa berpikir menyerupai orang remaja melalui empat tahap perkembangan, yakni :
a. Tahap Sensomotor (Sejak lahir hingga usia sekitar 0 - 2 tahun)
Kegiatan intelektual pada tahap ini hampir seluruhnya meliputi tanda-tanda yang diterima secara eksklusif melalui indera. Pada ketika anak mencapai kematangan dan mulai memperoleh keterampilan berbahasa, mereka mengaplikasikannya dengan menerapkannya pada objek-objek yang nyata. Anak mulai memahami kekerabatan antara benda dengan nama yang diberikan kepada benda tersebut.
b. Tahap Praoperasional (usia sekitar 2 - 7 Tahun)
Pada tahap ini perkembangan sangat pesat. Lambang-lambang bahasa yang diharapkan untuk menawarkan benda-benda nyata bertambah dengan pesatnya. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan intuisi atau perasaan, bukan berdasarkan pada analisis rasional. Baru menjelang simpulan tahun ke 2 anak telah mulai mengenal simbul/nama.
c. Tingkat Operasional Konkret (usia 7 - 11 tahun)
Kemampuan berpikir logis muncul pada tahap ini. Mereka sanggup berpikir secara sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Pada tahap ini, permasalahan yang dihadapinya ialah permasalahan yang konkret.
d. Tingkat Operasional Formal (Usia sekitar 11 - 12 tahun keatas)
Tahap ini ditandai dengan contoh berpikir orang dewasa. Mereka sanggup mengaplikasikan cara berpikir terhadap permasalahan dari semua kategori, baik yang ajaib maupun yang konkret. Pada tahap ini anak sudah sanggup memikirkan buah pikirannya, sanggup membentuk ide-ide, dan berpikir perihal masa depan secara realistis.
Proses berguru penerima didik akan mengikuti contoh dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya masing-masing. Pola dan tahap-tahap ini bersifat sistematik berdasarkan urutan tertentu dan penerima didik tidak sanggup berguru sesuatu yang berada di luar tahap perkembangan kognitifnya.
Tahap perkembangan penerima didik pada jenjang sekolah dasar pada umumnya berada pada rentang usia 7-12. Sesuai dengan tahap perkembangan kognitif (Cognitive Development) yang disampaikan oleh Piaget usia sekolah dasar berada pada tahap operational concrete.
Perkembangan kognitif anak pada usia 7-11 tahun disebut oleh Piaget sebagai tahap operasi kasatmata (concrete operations stage). Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Piaget dimana contoh pikir penerima didik usia 7-11 tahun ialah operasional konkret. Danim (2010) menyatakan bahwa pada tahap operasional kasatmata anak tidak sanggup berpikir secara logis maupun abstrak. Anak usia ini dibatasi untuk berpikir konkrete atau nyata, pasti, tetap, dan undireksional istilah yang lebih menandakan pengalaman nyata dan kasatmata ketimbang abstrak.
Dari uraian singkat di atas sanggup disimpulkan bahwa dalam merancang pembelajaran guru hendaknya memperhatikan aspek perkembangan kognitif penerima didik. Usia sekolah dasar anak cenderung berpikir secara nyata dan belum bisa berpikir secara logis dan abstrak. Oleh karna itu dalam perangkat pembelajaran yang dikembangkan harus diadaptasi dengan karakteristik penerima didik.
Sebutan “Peserta Didik” itu menggantikan sebutan “peserta didik” atau “murid” atau “pelajar” atau “student”. Dalam UU No. 20 Tahun 2013 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, mendefinisikan penerima didik sebagai setiap insan yang berusaha membuatkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik formal maupun pendidikan non formal, pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Berdasarkan definisi penerima didik di atas, maka sanggup kita pahami bahwa esensinya ialah setiap individu yang berusaha membuatkan potensi pada jalur pendidikan formal dan non formal berdasarkan jenjang dan jenisnya. Sudarwan Danim (2013: 2) Menerangkan perihal hakekat penerima didik sebagai berikut:
- Peserta didik merupakan insan yang mempunyai diferensiasi potensi dasar kognitif atau intelektual, afektif dan psikomotor.
- Peserta didik merupakan insan yang mempunyai diferensiasi priodesasi perkembangan dan pertumbuhan, meski mempunyai potensi yang relatif sama.
- Peserta didik mempunyai imajinasi, persepsi dan dunianya sendiri, bukan sekedar miniatur orangtua.
- Peserta didik merupakan insan yang mempunyai diferensiasi kebutuhan yang harus dipenuhi, baik jasmani maupun rohani, meski dalam hal-hal tertentu banyak kesamaannya.
- Peserta didik merupakan insan bertanggungjawab bagi proses berguru pribadi dan menjadi pembelajar sejati, sesuai dengan wawasan pendidikan sepanjang hayat.
- Peserta didik mempunyai daya adaptabilitas di dalam kelompok sekaligus membuatkan dimensi individualitasnya sebagai sesuatu yang unik.
- Peserta didik memerlukan training dan pengembangan secara individual dan kelompok, serta mengharap perlakuan yang manusiawi dari orang dewasa, termasuk gurunya.
- Peserta didik merupakan insan yang visioner dan pro aktif dalam menghadapi lingkungannya.
- Peserta didik sejatinya berperilaku baik dan lingkunganlah yang paling secara umum dikuasai untuk membuatnya lebih baik lagi atau menjadi lebih buruk.
- Peserta didik merupakan makhluk Tuhan yang meski mempunyai aneka keunggulan, namun tidak akan mungkin bisa berbuat atau dipaksa melaksanakan sesuatu melebihi kapasitasnya.
Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Proses pembelajaran pada semua jenis, satuan dan jenjang pendidikan tanpa dipandu dengan pemahaman guru terhadap penerima didiknya hanya akan berubah menjadi sebagai tindakan rambang dan cenderung anti pedagogis.
Karakteristik Peserta didik SD merupakan salah satu variable yang perlu diperhatikan demi suksesnya proses berguru mengajar. Variabel ini bisa berupa bakat, minat, sikap, motivasi belajar, gaya belajar, kemampuan berpikir dan kemampuan awal (hasil belajar) yang telah dimilikinya.
Uno (2012: 58) menjelaskan bahwa Karakteristik penerima didik akan sangat besar lengan berkuasa pada pemilihan seni administrasi pengelolaan, yang berkaitan dengan bagaimana menata pengajaran, khususnya komponen-komponen seni administrasi pengajaran, biar sesuai dengan karakteristik perseorangan penerima didik.
Menurut Piaget (Shaffer & Kipp, 2010 : 253-277) mengemukakan bahwa proses berguru anak hingga bisa berpikir menyerupai orang remaja melalui empat tahap perkembangan, yakni :
a. Tahap Sensomotor (Sejak lahir hingga usia sekitar 0 - 2 tahun)
Kegiatan intelektual pada tahap ini hampir seluruhnya meliputi tanda-tanda yang diterima secara eksklusif melalui indera. Pada ketika anak mencapai kematangan dan mulai memperoleh keterampilan berbahasa, mereka mengaplikasikannya dengan menerapkannya pada objek-objek yang nyata. Anak mulai memahami kekerabatan antara benda dengan nama yang diberikan kepada benda tersebut.
b. Tahap Praoperasional (usia sekitar 2 - 7 Tahun)
Pada tahap ini perkembangan sangat pesat. Lambang-lambang bahasa yang diharapkan untuk menawarkan benda-benda nyata bertambah dengan pesatnya. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan intuisi atau perasaan, bukan berdasarkan pada analisis rasional. Baru menjelang simpulan tahun ke 2 anak telah mulai mengenal simbul/nama.
c. Tingkat Operasional Konkret (usia 7 - 11 tahun)
Kemampuan berpikir logis muncul pada tahap ini. Mereka sanggup berpikir secara sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Pada tahap ini, permasalahan yang dihadapinya ialah permasalahan yang konkret.
d. Tingkat Operasional Formal (Usia sekitar 11 - 12 tahun keatas)
Tahap ini ditandai dengan contoh berpikir orang dewasa. Mereka sanggup mengaplikasikan cara berpikir terhadap permasalahan dari semua kategori, baik yang ajaib maupun yang konkret. Pada tahap ini anak sudah sanggup memikirkan buah pikirannya, sanggup membentuk ide-ide, dan berpikir perihal masa depan secara realistis.
Proses berguru penerima didik akan mengikuti contoh dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya masing-masing. Pola dan tahap-tahap ini bersifat sistematik berdasarkan urutan tertentu dan penerima didik tidak sanggup berguru sesuatu yang berada di luar tahap perkembangan kognitifnya.
Tahap perkembangan penerima didik pada jenjang sekolah dasar pada umumnya berada pada rentang usia 7-12. Sesuai dengan tahap perkembangan kognitif (Cognitive Development) yang disampaikan oleh Piaget usia sekolah dasar berada pada tahap operational concrete.
Perkembangan kognitif anak pada usia 7-11 tahun disebut oleh Piaget sebagai tahap operasi kasatmata (concrete operations stage). Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Piaget dimana contoh pikir penerima didik usia 7-11 tahun ialah operasional konkret. Danim (2010) menyatakan bahwa pada tahap operasional kasatmata anak tidak sanggup berpikir secara logis maupun abstrak. Anak usia ini dibatasi untuk berpikir konkrete atau nyata, pasti, tetap, dan undireksional istilah yang lebih menandakan pengalaman nyata dan kasatmata ketimbang abstrak.
Dari uraian singkat di atas sanggup disimpulkan bahwa dalam merancang pembelajaran guru hendaknya memperhatikan aspek perkembangan kognitif penerima didik. Usia sekolah dasar anak cenderung berpikir secara nyata dan belum bisa berpikir secara logis dan abstrak. Oleh karna itu dalam perangkat pembelajaran yang dikembangkan harus diadaptasi dengan karakteristik penerima didik.
Shaffer, D.R & Kipp, K (2010) Developmental Psychology Childhood and Adolescence. Belmont: Wadsworth Cengage Learning
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2013.
Sudarwan Danim. (2010). Perkembangan penerima didik. Bandung: Alfabeta
Komentar
Posting Komentar